Menata Ulang Skema KUR dan Penghapusan Piutang untuk UMKM Naik Kelas
Menata Ulang Skema KUR dan Penghapusan
Piutang untuk UMKM Naik Kelas
Oleh: Rioberto Sidauruk*
Program Kredit Usaha Rakyat (KUR) dan penghapusan
piutang macet kepada pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) merupakan
dua instrumen strategis dalam kebijakan afirmatif negara terhadap ekonomi
rakyat. Namun, berdasarkan pengamatan publik atas proses-proses kebijakan yang
berlangsung secara terbuka, sejumlah persoalan serius muncul, baik dalam
tataran implementasi teknis maupun dalam konsistensi nilai yang mendasarinya.
Sebagaimana diketahui, program KUR dirancang sebagai
kebijakan subsidi silang negara untuk mendorong inklusi keuangan dan penguatan
daya saing ekonomi masyarakat kecil. Dalam struktur dasarnya, negara menanggung
sebagian bunga pinjaman melalui skema subsidi, agar UMKM dapat memperoleh modal
usaha dengan syarat yang ringan, cepat, dan mudah. Maka dari itu, penting
dipahami bahwa KUR bukanlah produk perbankan biasa yang sepenuhnya dikendalikan
oleh mekanisme pasar. Fatsoen pemerintah untuk KUR adalah instrumen kebijakan
publik yang digerakkan dengan dana dan mandat negara.
Namun di lapangan, berbagai pelaku UMKM masih
menghadapi hambatan yang semestinya tidak ada dalam skema yang bersifat
afirmatif. Salah satu persoalan paling mendasar adalah masih adanya permintaan
agunan tambahan untuk pinjaman KUR di bawah Rp100 juta, padahal peraturan
menyatakan bahwa kelayakan usaha cukup menjadi dasar pertimbangan. Hal ini
menunjukkan bahwa semangat KUR sebagai program keberpihakan telah dikerdilkan
menjadi sekadar produk pinjaman konvensional, yang diperlakukan bank seperti
kredit komersial lainnya.
Logika komersialisasi ini sangat bertentangan dengan
esensi KUR. Ketika bank tetap mempersyaratkan jaminan tambahan, melakukan BI
checking yang kaku, atau menolak debitur hanya karena tidak memiliki catatan
kredit sebelumnya, maka yang terjadi adalah eksklusi struktural terhadap
masyarakat yang justru paling membutuhkan dukungan. Ini menyalahi tujuan utama
KUR untuk memperluas akses keuangan kepada kelompok yang tidak terlayani oleh
perbankan.
Beberapa perwakilan lembaga keuangan memang telah
menyatakan bahwa mereka mematuhi ketentuan KUR tanpa agunan tambahan dan bahkan
menindak pelanggaran internal. Tetapi, tanpa pengawasan aktif dan sistem
pelaporan yang transparan, komitmen semacam ini cenderung menjadi retorika
belaka. Pengawasan oleh otoritas keuangan, kementerian teknis, serta pelibatan
masyarakat sipil sangat dibutuhkan untuk menjaga agar KUR tidak mengalami
komersialisasi terselubung.
Pada sisi lain, kebijakan penghapusan piutang macet
kepada UMKM yang diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 47 Tahun 2024 juga
menghadapi tantangan besar dalam pelaksanaannya. Meski terdapat potensi lebih
dari 1 juta debitur dengan piutang macet sebesar Rp14,8 triliun, hanya sebagian
kecil yang dapat diproses karena adanya ketentuan teknis, seperti keharusan
telah dilakukan restrukturisasi terlebih dahulu. Per April 2025, realisasi
kebijakan ini bahkan belum mencapai 20 persen dari potensi yang ada.
Kebijakan penghapusan piutang seharusnya dimaknai
sebagai bagian dari pemulihan struktural UMKM pasca-pandemi dan krisis ekonomi.
Keputusan negara bukan semata-mata soal keringanan beban finansial, tetapi juga
tentang keadilan sosial. Banyak pelaku UMKM yang telah berusaha keras melunasi
utang, tetapi gagal karena kondisi yang di luar kendali. Jika tidak ada ruang
pemulihan bagi kelompok rentan rendah pendapatan, maka konsekuensinya bukan
hanya stagnasi ekonomi, tetapi juga keterjebakan dalam lingkaran pembiayaan
ilegal yang semakin marak.
Oleh karena itu, pendekatan pasca-hapus tagih harus
diarahkan untuk reintegrasi pelaku usaha ke dalam sistem pembiayaan formal.
Artinya, UMKM yang piutangnya telah dihapus tidak boleh didiskriminasi dalam
akses pembiayaan di masa depan, selama mereka menunjukkan kemauan dan kelayakan
usaha. Pendampingan intensif, pelatihan kewirausahaan, serta kemudahan
administrasi menjadi kunci utama dalam proses ini.
Lebih jauh, KUR dan penghapusan piutang bukan hanya
soal regulasi, tetapi juga soal paradigma. Bila keduanya tetap diperlakukan
sebagai alat komersialisasi—baik oleh perbankan maupun oleh aktor kebijakan
lain—maka esensi kehadiran negara akan sirna. Padahal, program ini seharusnya
menjadi simbol nyata bahwa negara tidak hanya hadir sebagai penonton, tetapi
sebagai pelindung dan penggerak ekonomi rakyat.
Ke depan, diperlukan beberapa langkah strategis dan
implementatif. Pertama, penguatan sistem pelaporan dan pengaduan publik yang
memungkinkan masyarakat melaporkan langsung pelanggaran atau penyimpangan KUR.
Kedua, percepatan penyusunan aturan pengganti dari PP 47/2024 agar seluruh
potensi hapus tagih dapat direalisasikan dalam waktu yang tersisa. Ketiga,
integrasi data dan kebijakan antara KUR dan penghapusan piutang, sehingga
proses pemulihan UMKM dapat berlanjut secara berkesinambungan.
Keempat, perluasan partisipasi Bank Pembangunan Daerah
dan lembaga keuangan mikro lokal dalam program KUR dapat menjadi terobosan
penting. Bank-bank daerah memiliki jaringan sosial dan pengetahuan lokal yang
lebih baik untuk menjangkau UMKM yang selama ini tidak tersentuh oleh bank
besar. Namun, dukungan likuiditas dan pembenahan tata kelola juga harus
berjalan bersamaan.
Dalam krisis ekonomi global dan tekanan fiskal
nasional, UMKM menjadi tulang punggung yang paling bisa diandalkan. Maka
menjaga integritas kebijakan KUR dan penghapusan piutang adalah tanggung jawab
bersama seluruh pemangku kepentingan. Tidak boleh ada kompromi terhadap
komersialisasi, manipulasi, atau pengabaian nilai-nilai keberpihakan. Negara
harus tetap menjadi garda depan dalam membela ekonomi rakyat. (r10)
*Rioberto Sidauruk adalah pemerhati hukum ekonomi
politik dan peneliti industri strategis. Tenaga Ahli Komisi VII DPR RI yang
membidangi Industri, UMKM, ekonomi kreatif, dan lembaga penyiaran publik.

Komentar
Posting Komentar