"Revisi UU Kepariwisataan: Kunci Kebangkitan Ekonomi dari Daerah!"


"Revisi UU Kepariwisataan: Kunci Kebangkitan Ekonomi dari Daerah!"

Oleh: Rioberto Sidauruk
Tenaga Ahli Komisi VII DPR RI dan Pemerhati Kebijakan Industri dan Pariwisata

Pariwisata kini bukan lagi sektor pelengkap, tetapi telah menjadi salah satu pilar penting dalam pembangunan ekonomi nasional. Di banyak negara, sektor ini menjadi kunci pertumbuhan ekonomi baru pascapandemi. Namun, di Indonesia, pengelolaan pariwisata masih menghadapi banyak tantangan struktural, baik dari sisi regulasi, kelembagaan, maupun kebijakan operasional di lapangan.

Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan, yang selama ini menjadi payung hukum utama, kini memasuki masa krusial untuk direvisi. Pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Kepariwisataan yang tengah berlangsung di DPR menjadi momentum penting untuk menata ulang arah kebijakan pariwisata nasional secara menyeluruh dan berkelanjutan.

Menjawab Tantangan dengan Regulasi yang Adaptif

RUU Kepariwisataan terbaru diharapkan tidak sekadar memperbarui redaksi norma hukum, tetapi mampu menjawab berbagai isu yang selama ini menjadi hambatan dalam pengembangan sektor ini. Lima hal krusial yang kini menjadi perhatian dalam pembahasan DPR perlu mendapat tempat yang strategis dalam draf undang-undang yang baru: penguatan pendidikan vokasi dan SDM pariwisata, promosi pariwisata yang lebih masif dan strategis, penataan destinasi dan isu keberlanjutan, pembenahan kelembagaan, serta peningkatan penerimaan negara dari sektor pariwisata.

Sebagai contoh, negara-negara di Timur Tengah berhasil membangkitkan pariwisata mereka melalui reformasi visa dan penyelenggaraan acara internasional berskala besar. Negara-negara seperti Uni Emirat Arab dan Arab Saudi kini menjadi magnet wisata baru karena kemudahan akses bagi wisatawan, ditambah promosi destinasi yang terintegrasi dengan strategi diplomasi ekonomi dan budaya. Indonesia justru bergerak ke arah sebaliknya. Kebijakan pencabutan bebas visa kunjungan dan menggantinya dengan skema visa on arrival, terutama bagi wisatawan dari negara-negara potensial, dapat mengurangi daya saing destinasi Indonesia di mata dunia. Padahal, reformasi visa merupakan salah satu driver utama kebangkitan pariwisata global, selain konektivitas udara, tren ekowisata dan wisata budaya, serta munculnya kebutuhan perjalanan kombinatif antara bisnis dan wisata (bleisure travel).

Potret Sumatera Utara: Peluang dan Tantangan

Jika ditarik ke level daerah, persoalan ini menjadi lebih terasa. Sumatera Utara, misalnya, memiliki potensi besar di bidang pariwisata budaya, alam, dan sejarah. Danau Toba yang telah ditetapkan sebagai Destinasi Pariwisata Super Prioritas (DPSP) memang telah menunjukkan kemajuan, namun belum menyentuh optimalisasi potensi kawasan lainnya seperti Berastagi, Nias, atau kawasan perbukitan Karo dan Mandailing yang sarat warisan budaya.

Salah satu kendala utama adalah belum adanya sinergi antara promosi, pendidikan pariwisata, pengelolaan destinasi, dan investasi. Belum lagi problem koordinasi antara pemerintah pusat dan daerah, serta lemahnya kelembagaan promosi seperti Badan Promosi Pariwisata Daerah (BPPD) yang seharusnya menjadi garda depan pengembangan pasar pariwisata lokal dan internasional.

Arah Strategis Regulasi Baru

Revisi UU Kepariwisataan harus memuat fondasi baru yang mampu menjadi panduan strategis dalam pengembangan sektor ini ke depan. Arah perubahan yang perlu diprioritaskan meliputi penguatan sistem pendidikan dan pelatihan vokasi pariwisata yang berbasis kebutuhan pasar dan teknologi digital; pengembangan skema promosi terpadu lintas kementerian dan daerah yang didukung pendanaan proporsional; serta penerapan pendekatan keberlanjutan yang melibatkan masyarakat lokal secara aktif dalam pengelolaan destinasi. Di sisi kelembagaan, diperlukan reformasi struktural melalui penguatan peran Badan Promosi Pariwisata Daerah (BPPD) serta kejelasan relasi kewenangan antara pemerintah pusat dan daerah. Regulasi yang baru juga harus mendorong peningkatan kontribusi fiskal dari sektor pariwisata melalui dukungan investasi dan skema retribusi yang adil, serta reformasi kebijakan visa dan peningkatan konektivitas udara guna memudahkan akses wisatawan mancanegara. Semua arah ini perlu dirumuskan dalam desain regulasi yang tidak hanya responsif terhadap dinamika global, tetapi juga kontekstual terhadap realitas dan kebutuhan daerah.

Penutup

Indonesia tidak boleh tertinggal dalam perlombaan global sektor pariwisata. RUU Kepariwisataan yang sedang dibahas di DPR adalah peluang besar untuk menanamkan kembali arah pembangunan pariwisata yang berkelanjutan, berbasis budaya, dan inklusif secara ekonomi. Pemerintah dan DPR harus memastikan bahwa UU yang lahir nantinya bukan hanya legal formal, tetapi benar-benar mencerminkan kebutuhan zaman dan membuka jalan bagi kebangkitan pariwisata Indonesia yang lebih tangguh.

Sumatera Utara dan daerah-daerah lain di luar Jawa bisa menjadi wajah baru pariwisata nasional, asalkan regulasi berpihak, koordinasi berjalan efektif, dan masyarakat dilibatkan secara bermakna.

 


Komentar

Postingan populer dari blog ini

DARI BAPEPAM KE OJK

"Banjir Impor Murah: Ujian Kedaulatan Industri Indonesia"