"USA vs China: Strategi Cerdas Indonesia Raih Untung"

 


"USA vs China: Strategi Cerdas Indonesia Raih Untung"


Oleh: Rioberto Sidauruk
Pemerhati Hukum Ekonomi Kerakyatan / Peneliti Industri Strategis

Peribahasa “Gajah bertarung, pelanduk mati di tengah-tengah” mengilustrasikan betapa mudahnya negara kecil terhimpit dalam persaingan kekuatan besar.

Dalam konteks perang dagang AS-China, Indonesia sering dianggap sebagai pihak yang akan menjadi korban dalam persaingan ini.

Pandangan ini perlu ditinjau kembali. Indonesia sebenarnya tidak sekadar menjadi penonton pasif. Dengan kekayaan sumber daya alam yang melimpah, pasar domestik yang besar, serta posisi geopolitik yang strategis, Indonesia justru akan mengambil manfaat dari konflik ini.

Lantas, bagaimana strategi yang akan diambil agar Indonesia agara tidak terjebak dalam peran “pelanduk”, melainkan bertransformasi menjadi pemain cerdas yang memanfaatkan situasi ?

 

Posisi Indonesia dalam Perang Dagang AS-China

Perang dagang antara AS dan China memasuki fase yang lebih intens pada 2024. AS memperketat kontrol ekspor teknologi tinggi ke China melalui kebijakan seperti CHIPS Act dan pembatasan ekspor lainnya.

Sebagai balasan, China membatasi ekspor bahan-bahan kritis seperti gallium dan germanium. Di tengah gejolak, Indonesia justru mencatatkan peningkatan signifikan dalam ekspor ke kedua negara.

Di tengah situasi ekonomi global itu, Indonesia masih mampu menjaga neraca perdagangannya tetap surplus hingga pertengahan 2025. Meskipun demikian, surplus yang tercatat mulai menunjukkan penurunan signifikan.

Berdasarkan data dari BPS, surplus perdagangan Indonesia menyusut dari USD 34,64 miliar pada 2023, dengan proyeksi untuk 2025 berada di kisaran USD 30-35 miliar.

Situasi ini menggambarkan penurunan yang patut menjadi perhatian, mengingat pertumbuhan ekspor yang hanya diperkirakan tumbuh 3-5% dalam dua tahun mendatang.

Ketergantungan Indonesia pada komoditas mentah dan pasar ekspor tradisional, terutama China, menjadi salah satu hambatan terbesar dalam menghadapi perlambatan ini.

Sementara itu, ekspor Indonesia ke pasar lain seperti Amerika Serikat dan Eropa masih menunjukkan hasil yang terbatas.

Keadaan China yang tengah mengalami pertumbuhan ekonomi yang melambat—diperkirakan hanya 4,5-5%—menambah kesulitan Indonesia dalam menjaga surplus perdagangan.

Di sisi lain, impor bahan baku industri dan energi yang terus meningkat semakin menambah tekanan pada neraca perdagangan kita.

Meskipun tantangan besar mengancam, Indonesia tidak kekurangan harapan. Kebijakan hilirisasi yang sudah dimulai mulai menunjukkan hasil yang menjanjikan. Ekspor produk olahan nikel, seperti baterai kendaraan listrik (EV), mengalami kenaikan signifikan sekitar 15-20% berkat investasi besar di kawasan industri Morowali dan Weda Bay.

Begitu pula dengan ekspor minyak kelapa sawit (CPO) yang tercatat tumbuh 5%, terutama setelah dampak krisis Ukraina-Rusia yang memperkecil pasokan minyak nabati global.

Demikian pula dengan sektor hilirisasi yang mulai menunjukkan kemajuan, sektor lain seperti tekstil dan batu bara masih menghadapi penurunan yang tajam, menciptakan ketidakseimbangan yang sulit diatasi dalam waktu dekat.

Indonesia juga harus menghadapi tantangan baru berupa kebijakan proteksionisme dari negara-negara Barat. Misalnya, aturan CBAM (Carbon Border Adjustment Mechanism) Uni Eropa dan Uyghur Forced Labor Prevention Act dari AS.

Kondisi ini mengancam rantai ekspor Indonesia yang baru berkembang, khususnya untuk produk-produk berbasis sumber daya alam seperti kelapa sawit dan tekstil.

Ini menunjukkan bahwa meskipun hilirisasi merupakan langkah maju, tantangan non-tarif dan proteksionisme global bisa menghalangi jalannya.

Di tengah segala ketidakpastian ekonomi, Indonesia harus cepat beradaptasi dengan perubahan peta perdagangan dunia yang semakin dinamis.

China yang sebelumnya menjadi mitra dagang terbesar Indonesia, kini kehilangan kekuatan pendorong yang selama ini mendominasi.

Ketergantungan Indonesia yang mencapai 30% dari total ekspor pada China menambah kesulitan, terlebih dengan stagnasi ekonomi negeri tersebut.

Upaya Indonesia untuk mendiversifikasi pasar ke AS dan India masih belum menunjukkan hasil yang signifikan, dan fluktuasi nilai tukar serta harga komoditas global semakin memperburuk keadaan.

Yang lebih mengkhawatirkan, ketergantungan Indonesia terhadap impor bahan baku industri dari China yang mencapai 40% membuat Indonesia terjebak dalam dilema.

Meskipun ingin mengurangi ketergantungan tersebut, mencari alternatif pemasok yang sebanding bukanlah hal yang mudah.

Indonesia menghadapi tantangan berat dalam mencari keseimbangan antara upaya mengurangi ketergantungan dan memastikan kelangsungan industri domestik.

 

Peluang dan Ancaman: Menyikapi Dinamika Perang Dagang AS-China

Kini, boleh dibilang Indonesia berada pada persimpangan jalan di tengah gejolak perang dagang antara dua ekonomi terbesar dunia, Amerika Serikat dan China.

Meski ada pengamat menganggap Indoneisa sebagai "pelanduk" yang terhimpit, faktanya Indonesia memiliki peluang besar untuk memainkan peran yang jauh lebih signifikan dalam situasi kedepan.

Peluang pertama yang bisa dimanfaatkan Indonesia adalah hilirisasi sumber daya alam. Dalam beberapa tahun terakhir, Indonesia berhasil menarik perhatian dunia dengan kebijakan pelarangan ekspor bijih nikel, yang memaksa China untuk berinvestasi dalam pembangunan smelter dan fasilitas pengolahan di dalam negeri.

Kondisi ini telah menjadikan Indonesia sebagai produsen nikel terbesar dunia, serta menjadikannya pemain kunci dalam rantai pasokan baterai kendaraan listrik (EV).

Di sini, Indonesia harus memastikan bahwa kebijakan hilirisasi ini tidak hanya berlaku untuk nikel, tetapi juga untuk sumber daya alam lainnya seperti bauksit, sawit, dan tembaga.

Dengan melakukan pengolahan lebih lanjut, Indonesia bisa mengurangi ketergantungan pada ekspor bahan mentah dan meraih nilai tambah yang lebih tinggi.

Selain itu, diversifikasi pasar ekspor menjadi langkah berikutnya yang harus ditempuh Indonesia. Ketergantungan Indonesia pada pasar China dan AS yang sangat besar memberi risiko besar bagi perekonomian domestik.

Indonesia harus membuka pasar baru dengan menjajaki peluang ekspor ke negara-negara di Eropa, Timur Tengah, dan Afrika.

Produk halal, tekstil ramah lingkungan, dan teknologi hijau bisa menjadi sektor unggulan yang potensial, mengingat tren global yang semakin mendukung keberlanjutan.

Dengan langkah ini, Indonesia dapat mengurangi risiko ketergantungan terhadap dua negara besar sekaligus menjaga stabilitas perekonomian.

Seperti halnya peluang, ada juga ancaman yang perlu diwaspadai. Salah satu yang paling nyata adalah kebijakan proteksionisme dari AS yang seringkali memperumit hubungan perdagangan.

Isu deforestasi yang menyangkut industri kelapa sawit, misalnya, dapat digunakan AS untuk membatasi ekspor Indonesia. Ini menunjukkan betapa pentingnya bagi Indonesia untuk terus memperbaiki dan mengembangkan kebijakan perdagangan yang ramah lingkungan.

Jika Indonesia dapat meyakinkan dunia bahwa praktik pertanian dan industri sawitnya ramah lingkungan, maka hambatan perdagangan yang dihadapi dapat diminimalkan.

Selain itu, ketergantungan Indonesia pada China sebagai pasar utama juga membawa risiko. Dengan 22% ekspor Indonesia bergantung pada China, krisis ekonomi atau penurunan permintaan dari China bisa mengguncang ekonomi Indonesia.

Indonesia harus memperkuat sektor domestiknya, mengembangkan pasar lokal, dan mendorong konsumsi dalam negeri agar ketergantungan pada pasar global semakin berkurang.

 

Strategi Indonesia: Dari Pelanduk Menjadi Pemain Cerdas

Jika Indonesia ingin keluar dari peran pasif sebagai “pelanduk”, maka Indonesia harus memiliki strategi yang lebih pragmatis dan berdaulat. Upaya ini dapat ditempuh dengan beberapa langkah konkret.

Pertama, pemerintah harus mempercepat hilirisasi sumber daya alam agar Indonesia tidak hanya menjadi penyedia bahan mentah, tetapi juga pemain kunci dalam industri global.

Melalui kebijakan yang konsisten, Indonesia dapat memastikan bahwa setiap komoditas utama seperti nikel, kelapa sawit, dan tembaga diolah menjadi produk bernilai tinggi.

Seperti yang telah dilakukan dengan nikel, proyek hilirisasi lainnya—seperti pengolahan sawit menjadi biodiesel atau tembaga menjadi kabel elektrik—akan membuka lebih banyak lapangan kerja dan meningkatkan daya saing Indonesia di pasar global.

Upaya tersebut bukan hanya soal meningkatkan pendapatan negara, tetapi juga menciptakan ekosistem industri yang kuat dan berkelanjutan.

Kedua, Indonesia harus memanfaatkan diplomasi ekonomi yang lincah untuk memperluas jaringan dan memanfaatkan peluang investasi.

Hubungan yang baik dengan AS melalui Indo-Pacific Economic Framework (IPEF) dapat membawa manfaat besar, terutama dalam akses ke pasar hijau dan investasi teknologi.

Di sisi lain, meskipun hubungan ekonomi dengan China masih sangat penting, Indonesia perlu mengurangi ketergantungan pada ekspor bahan mentah.

Upaya ini dapat dicapai dengan mendorong kerja sama di bidang infrastruktur dan teknologi yang lebih berkelanjutan, seperti energi terbarukan dan industri 4.0.

Ketiga, Indonesia perlu memperkuat peran ASEAN sebagai kekuatan kolektif dalam menghadapi ketegangan perdagangan global.

ASEAN, dengan total 660 juta penduduk, merupakan pasar yang sangat besar dan memiliki potensi untuk meningkatkan daya tawar Indonesia dalam negosiasi perdagangan.

Melalui diplomasi yang lebih solid, Indonesia dapat memperkuat posisi ASEAN di meja perundingan internasional, terutama dalam menghadapi kebijakan proteksionisme yang semakin marak.

Keempat, inovasi teknologi lokal harus menjadi fokus utama Indonesia. Pemerintah dan sektor swasta perlu bekerja sama untuk mempercepat riset dan pengembangan di bidang energi terbarukan, kendaraan listrik, serta ekonomi digital.

Dengan melibatkan talenta lokal dan meningkatkan kemampuan riset dalam negeri, Indonesia tidak hanya menjadi konsumen teknologi, tetapi juga inovator yang dapat bersaing di pasar global.

 

Industri Domestik yang Kuat, Diplomasi Ekonomi yang Cerdas

Indonesia harus melihat perang dagang ini sebagai sebuah kesempatan untuk bertransformasi, bukan sebagai ancaman.

Dengan mengambil langkah-langkah yang tepat, seperti mempercepat hilirisasi, mendiversifikasi pasar, dan memperkuat sektor teknologi dalam negeri, Indonesia bisa keluar dari peran sebagai negara yang terjepit menjadi pemain cerdas yang dihormati.

Kunci utamanya adalah konsistensi kebijakan yang berfokus pada penguatan industri domestik, serta diplomasi ekonomi yang aktif.

Melalui langkah-langkah ini, Indonesia bukan hanya bisa bertahan, tetapi juga berkembang dan memanfaatkan gejolak global untuk lompatan ekonomi yang lebih besar.(r10)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

DARI BAPEPAM KE OJK

"Banjir Impor Murah: Ujian Kedaulatan Industri Indonesia"